News
Loading...

Tutup Freeport? Kutuk Sumberdaya Alam yang Sementara Kita Derita

Sejumlah mahasiswa Papua di Jakarta demo
minta Freport ditutup (Foto: Ist)
Oleh : Martyr Papua*

Pertama-tama, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, sebagai sesama manusia yang fana, saya mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas tewasnya sejumlah karyawan akibat longsornya terowongan di penambangan bawah tanah PT Freeport Indonesia.  Setiap nyawa sangat berharga di mata Tuhan, dan seharusnya pula di mata setiap manusia – termasuk manajemen Freeport.

Perlu ada penyelidikan yang dilakukan oleh para ahli independen untuk mengetahui penyebab kecelakaan yang tidak perlu ini.  Siapa pun yang bersalah harus diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.  

Penambangan bawah tanah memiliki standar-standar yang sangat ketat.  Jadi, penyelidikan tidak boleh berhenti hanya pada lapis pertama di atas para karyawan yang mengami nasib yang nahas itu, tetapi juga harus sampai ke Direktur Teknik penambangan Freeport, Presiden Direktur Freeport Indonesia, bahkan sampai ke para penguasa Freeport MacMoRan di Phoenix dan New Orleans, Amerika Serikat.

Para pejabat terkait di Kementerian Pertambangan dan Energi juga harus diperiksa. Merekalah yang mengeluarkan izin operasi penambangan bawah tanah. Demikian juga para punggawa di Kementerian Lingkungan Hidup. Harus diselidiki dengan sungguh-sungguh, apakah sudah ada dokumen dampak lingkungan yang disusun khusus untuk operasi penambangan bawah tanah.

Kalau tidak ada, atau dokumen yang ada itu dibuat tidak sesuai dengan standar atau kaidah-kaidah yang seharusnya, atau dokumen itu sudah kadaluarsa karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan safety, maka jelas kegiatan penambangan bawah tanah Freeport ini adalah ilegal.

Sementara, bagi sebagia pihak, cara yang paling praktis saat ini, untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak perlu ke depan, adalah menutup operasi Freeport – setidak-tidaknya melakukan moratorium kegiatan penambangan bawah tanah.

Saya setuju, Saya sangat setuju Freeport ditutup!  Batuan bijih yang mengandung emas, perak, tembaga dan logam-logam berharga lainnya itu bukan seperti pisang di pohon yang harus dimakan ketika menjadi ranum, karena kalau tidak, pisang itu akan menjadi busuk.
Berbeda dengan pisang, batuan bijih akan tetap abadi sampai orang-orang Papua sendiri siap untuk mengelolanya dengan cara-cara yang benar-benar ramah lingkungan dan dengan izin dari masyarakat adat setempat.

Tetapi sesudah saya pikirkan dalam-dalam, ternyata masalahnya sama tidak sederhana.  Ketika Freeport ditutup, dampak lingkungan yang dihasilkannya selama ini tidak serta merta berhenti.  Hal ini pernah disaksikan sendiri oleh masyarakat Amungme di Banti pada tahun 1996 – hampir 16 tahun yang lalu.

Ketika itu terjadi “rock festival” di Timika dan Tembagapura. Dimulai dengan ditabraknya sorang penduduk di Timika, pecah kerusuhan yang melumpuhkan kota Timika dan Tembagapura selama beberapa hari.
Dengan bermodalkan lemparan batu, masyarakat setempat berhasil menghentikan seluruh kegiatan operasi pertambangan. Di bawah pimpinan Videlis Zonggonau, mereka berhasil memaksa Jim Bob Moffett, boss besar Freeport MacMoRan waktu itu, untuk datang ke Tembagapura.

Prabowo Subianto, sang “rising star” waktu itu, yang menjabat Komandan Jenderal Kopassus, diperintahkan oleh Presiden Suharto untuk mengawal kedatangan Moffett ke Tembagapura.
Hasilnya, kita sudah sama tahu: lahirlah sejumlah perubahan penting di Freeport. Untuk menenangkan masyarakat, Freeport memberikan “Dana 1 persen” yang besarnya sama dengan satu persen pendapatan kotor perusahaan. Angkanya konon pernah mencapai 25 juta dollar dalam setahun, atau kurang lebih sama dengan 250 miliar rupiah.

Dana itulah yang kemudian dikelola oleh LPMIJ (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Irian Jaya) pada mulanya, dan kemudian berubah nama menjadi LPMAK. Akronim AK di sini adalah Amungme dan Kamoro. Selain itu, Moffett membangun pagar mengelilingi kota Tembagapura.  Dan, jumlah serdadu tentara dan polisi menjadi jauh lebih banyak didatangkan untuk melindungi operasi perusahaan.
Tetapi ada satu hal yang luput dari perhatian masyarakat luas, termasuk media massa pada saat itu – bahkan hingga sekarang. Ketika kegiatan penambangan dan pabrik pengolahan berhenti selama beberapa hari, memang air sungai yang mengalir di depan Banti menjadi bersih kembali seperti ketika zaman leluhur mereka.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Air yang jernih itu kemudian berubah warna menjadi kebiru-biruan. Mengapa? Karena ke-asaman-nya meningkat dengan relatif cepat. Dari mana asalnya? Dari aliran asam batuan tambang yang terus mengalir walaupun kegiatan penambangan dan pengolahan bijih di pabrik sudah berhenti/dihentikan.

Pada tahun 2006 WALHI pernah menerbitkan laporan yang sebagian isinya membahas tentang apa yang disebut dengan “Acid Rock Drainage”, atau aliran batuan asam, dari aktivitas penambangan perusahaan ini.

Aliran batuan asam ini terbentuk ketika batuan yang dipecah terpapar ke udara dan mengalami proses kimia yang disebut Reduksi-Oksidasi (redox).

Selama ini, aliran batuan asam tidak terlalu menjadi masalah karena diatas sana, di mill, tempat batuan bijih dihancurkan dan digiling, batuan bijih itu dicampur dengan batuan kapur yang dibawa dari dataran rendah maupun diambil dari gunung-gunung di sekitar yang mengandung kapur.

Demikian juga di daerah pertambangan terbuka, ketika batuan penutup (dalam pertambangan disebut over burden) di-’kupas’ untuk diambil batuan bijih yang terserak di bawahnya, lokasi itu kemudian ditutupi dengan batuan kapur.
Dengan adanya campuran batuan kapur ini, maka pH (derajat keasaman) aliran tailing, dll, yang dibuang Freeport ke Sungai Aijkwa cenderung netral, malah sedikit basa (pH di atas angka tujuh) ketika tiba di dataran rendah.

Tetapi ketika tambang ini ditutup dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola acid rock drainage ini, maka langsung/otomatis pH-nya akan menjadi sangat asam, bisa mencapai kurang dari 2,8.

Tidak ada kehidupan di dalam aliran/substansi dengan pH serendah itu. Banyak penelitian di negara-negara lain, misalnya di Canada, yang menunjukkan bahwa aliran batuan asam ini bisa mencapai lebih dari 150 tahun, sampai secara alami semua permukaan batuan yang terpapar tidak lagi mengalami proses redox.

Pertanyaannya: siapa yang bertanggung jawab mengelola Acid Rock Drainage alias aliran batuan asam ini sesudah Freeport tutup, apalagi kalau dia dipaksa tutup, sehingga dengan gampang perusahaan ini bisa berlindung di belakang situasi “force majeure” dalam kontraknya dengan pemerintah Indonesia?

Saya kira kita sekarang sementara mengalami kutukan kedua dari kutukan sumberdaya alam. Kutukan pertama, adalah rakyat di wilayah yang kaya sumberdaya alam (baca: pertambangan) tidak serta merta akan sejahtera.

Dan kutukan kedua, ketika perusahaan yang mengelola sumberdaya alam itu pergi, entah dengan cara dipaksa atau tidak dipaksa, maka dampak negatif operasi perusahaan itu atas lingkungan akan terus berlangsung dan rakyat di bekas kawasan itu akan tetap atau lebih menderita lagi.

Sebagai penutup, saya kutip bagian dari laporan WALHI (halaman 110) seperti yang saya maksudkan di atas: “Selama para geolog Freeport melakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus terhadap tailings (seperti yang berlangsung sekarang), area yang memproduksi asam akan dengan mudah bisa diidentifikasi dan bisa langsung ditangani dengna batu kapur kasus per kasus.

Biarpun begitu, ada mekanisme lain yang bisa menyebar(kan) tembaga, dan banyak tambang di seluruh dunia menunjukkan bahwa fenomena ARD (Acid Rock Drainage – Aliran Batuan Asam) dapat berlangsung berabad-abad.

Bisakah Freeport-Rio Tinto menjamin mereka akan terus berada di lokasi untuk mengatasi masalah jangka panjang ini?

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di pinggiran Kota Jayapura, Papua

Sumber :  www.suarapapua.com
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment